Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku. Kalau ada orang yang menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan mencapai satu cupak[1] atau separonya dari yang telah mereka infakkan. (Mashabih Assunnah)

[1] Satu cupak kurang lebih 1 Ons

Kamis, 29 Maret 2012

ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ



KETEGUHAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ


Pada masa awal diutusnya Nabi saw, beliau mendakwahkan agama Islam dikota Makkah secara sembunyi-sembunyi. Dengan alasan keselamatan, kaum muslimin pada masa itupun menyembunyikan keislaman mereka. Hingga ketika jumlah kaum muslimin telah genap tiga puluh delapan orang, Abu Bakar ra mendesak Rasulullah saw untuk menda'wahkan dienul Islam secara terang-terangan. Berkatalah Rasulullah saw, "Wahai Abu Bakar, … sesungguhnya jumlah kita masih sedikit," Akan tetapi Abu Bakar tetap mendesak Rasulullah saw, sehingga beliau bersedia keluar menuju masjid berikut kaum muslimin.
Di masjid mereka berpencar di sudut-sudut masjid, setiap orang berada pada kabilahnya masing-masing. Berdirilah Abu Bakar ra dihadapan manusia sambil berkhutbah. Sehingga dialah orang yang pertama kali berkhutbah menyeru manusia kepada Allah. Ketika orang-orang musyrik mendengar Abu Bakar ra mencela tuhan-tuhan mereka dan menyalahkan agama mereka, spontan mereka marah kepada Abu Bakar ra dan kaum muslimin. Mereka memukuli kaum muslimin di sudut-sudut masjid tersebut dengan pukulan yang  keras, sementara Abu Bakar ra sedang menyampaikan dien secara jahar (terang-terangan). Sekelompok orang-orang musyrikin mengelilingi dan memukulinya habis-habisan sampai beliau jatuh ke lantai, sementara usia beliau ketika itu telah mendekati 50an. Salah seorang fasiq diantara mereka yaitu Utbah bin Rabi'ah mendekati Abu Bakar lalu menginjak perut dan dadanya serta memukul wajah Abu Bakar ra dengan kedua terompahnya sampai kulit wajah Abu Bakar ra terkoyak dan berdarah lalu beliau jatuh pingsan.
Saat itu datanglah Bani Taim (kabilah Abu Bakar), membelanya serta berusaha menghalau orang-orang musyrik. Mereka menggotong Abu Bakar ra dengan selembar kain. Mereka menduga kuat bahwa ia telah meninggal. Setelah sampai di rumahnya ia dibaringkan. Ayahnya dan sebagian kaumnya duduk di samping kepalanya. Mereka berbicara kepadanya namun ia tak dapat berbicara sama sekali. Pada sore hari, Abu Bakar ra mulai siuman dan  membuka kedua matanya. Kata-kata yang pertama meluncur dari lidahnya adalah, "Bagaimana keadaan Rasulullah saw ?". Mendengar pertanyaan itu ayahnya marah dan mencelanya lalu keluar. Kemudian ibunya duduk di sisi kepalanya untuk memberi makan dan minum, sementara ia mengulang-ulang pertanyaannya, "Bagaimana keadaan Rasulullah saw ?". Ibunya menjawab, "Demi Allah, aku tidak tahu-menahu tentang sahabatmu itu."
Abu Bakar Berkata, "Pergilah ke Ummu Jamil binti Khotthob, tanyakan kepadanya tentang Rasulullah."
Ummu Jamil adalah seorang muslimah yang menyembunyikan keislamannya. Maka keluarlah ibunya untuk mendatangi Ummu Jamil. Ia berkata kepada Ummu Jamil, "Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin Abdullah." Ummu Jamil khawatir jika mereka mengetahui keislamannya. Lalu ia berkata, "Aku tidak kenal siapa itu Abu Bakar dan juga siapa itu Muhammad, akan tetapi jika engkau mau aku akan pergi bersamamu untuk menemui anakmu."
Ibu Abu Bakar menjawab, "Ya, baiklah!"
Akhirnya mereka bersama-sama menuju rumah Abu Bakar. Setelah sampai di rumahnya masuklah Ummu Jamil. Dia melihat tubuh Abu Bakar yang terkoyak wajahnya dan mengalirkan darah, ia menangis seraya berkata, "Demi Allah, sesungguhnya kaum yang berbuat seperti ini terhadapmu benar-benar kaum yang fasiq dan kafir. Sungguh aku berharap semoga Allah membalas perbuatan mereka itu."           
Abu Bakar menoleh kepadanya dengan sangat berat dan hampir-hampir tak dapat menoleh. Ia berkata, "Wahai Ummu Jamil… bagaimana keadaan Rasulullah saw ?"
Ummu Jamil melihat ke arah ibu Abu Bakar yang sampai saat itu masih belum masuk Islam. Ia merasa khawatir jika perempuan itu sampai membocorkan rahasia-rahasia kaum muslimin kepada orang-orang kafir. Lalu Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar, "Sementara ibumu di sini mendengar?!" Ia menjawab, "Engkau tidak perlu khawatir dengannya." Lalu dijawablah pertanyaan Abu Bakar tadi, "Rasulullah saw selamat dan baik-baik saja."
"Sekarang di mana beliau?" desak Abu Bakar.
"Di rumah Abul Arqam." jawab Ummu Jamil.
Setelah itu ibunya berkata, "Kamu telah mengetahui kabar sahabatmu, nah sekarang makan dan minumlah." Abu Bakar menjawab, "Tidak… aku bersumpah atas nama Allah bahwa aku tidak akan makan dan minum sampai aku datang menemui Rasulullah saw lalu melihatnya dengan mataku."
Lalu keduanya menahan Abu Bakar sampai malam hari dimana orang-orang sudah mulai tidur. Pada malam hari ia berusaha untuk bangkit akan tetapi tak mampu juga. Lalu ia keluar dengan dipapah oleh ibunya dan Ummu Jamil untuk menemui Rasulullah saw. Ketika Nabi saw melihatnya, beliau langsung memeluk dan menciuminya. Demikian juga kaum muslimin, mereka semua memeluknya. Rasulullah saw sangat iba dan kasihan terhadapnya. Sementara Abu Bakar berkata, "Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu wahai Rasulullah, kondisiku tidaklah mengapa selain pukulan seorang fasiq yang mengenai wajahku." Kemudian Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, ini ibuku, dia sangat baik terhadap anaknya… sedangkan engkau adalah seorang yang diberkati… maka ajaklah dia ke jalan Allah swt, dan do'akanlah untuknya, semoga Allah menyelamatkannya dari api neraka."
Lalu Rasulullah saw mendo'akannya dan mengajaknya ke jalan Allah, maka perempuan itupun masuk Islam…
Lihatlah pada gunung yang kokoh ini… Abu Bakar ra… perhatikan-lah betapa semangatnya beliau dalam berdakwah menyeru kepada Allah… sungguh mengagumkan keteguhan beliau yang sangat kuat di atas dien ini.
Sekarang tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang telah kamu persembahkan untuk Islam? Berapa orang yang telah mendapat hidayah karena sebabmu? Apakah engkau telah bersabar dalam menanggung ujian di jalan Allah? Dan apakah engkau telah mengajak manusia kepada yang ma'ruf dan mencegah mereka dari yang munkar?
Jadilah  engkau seorang pahlwan pemberani… ibarat gunung-gunung yang kokoh. Dan Allah akan menolongmu serta meluruskan langkahmu…


Ali bin Abu Tholib



S
eusai ditandatanganinya perjanjian Hudaibiyyah di bulan Dzulqa'dah tahun keenam Hijriyah, Rasulullah saw dan kaum muslimin merasa lega karena musuh yang selama ini paling sengit memerangi kaum muslimin, yaitu Quraisy telah menawarkan perdamaian dan gencatan senjata selama sepuluh tahun.
Namun demikian, masih ada satu musuh lagi yang selalu menunjukkan permusuh-annya dan melancarkan berbagai jurus makarnya untuk menghabisi kaum mus-limin serta melemahkan kekuatan Islam. Musuh tersebut adalah kaum Yahudi yang telah berulang kali melakukan peng-khianatan terhadap Rasulullah saw dan kaum muslimin. Pada masa awal Rasulullah saw dan kaum muslimin hijrah ke Madinah, beliau telah membuat suatu perjanjian dengan kaum Yahudi yang isinya kesepakatan bersama untuk hidup berdampingan secara damai di kota Madinah serta bersama-sama menjaga keamanan kota tersebut dari setiap serangan yang datang dari luar. Akan tetapi perjanjian tersebut mereka langgar berulang kali, bahkan salah satu suku dari mereka yaitu Bani Nadzir pernah mem-buat suatu makar jahat, berupa upaya pembunuhan terhadap Rasulullah saw.
Kekuatan Yahudi saat itu terpusat di Khaibar, satu kota yang besar, memiliki beberapa benteng yang berlapis-lapis dan kebun-kebun kurma yang subur. Mereka memiliki delapan benteng yang besar di kota tersebut dan mereka sangat yakin bahwa kekuatan mereka tidak akan mungkin dikalahkan oleh tentara manapun karena benteng-benteng ter-sebut sangat kokoh dan berlapis-lapis. Kota tersebut terletak 60 – 80 mil di utara Madinah.
Keberadaan mereka di Khaibar sangat membahayakan Islam dan kaum mus-limin. Sebelumnya telah terbukti bahwa kaum Yahudi Khaibar inilah yang mem-provokasi suku Quraisy dan Ghothofan (dua suku besar Arab) untuk berkoalisi menyerang kaum muslimin dalam suatu peperangan yang dikenal dengan perang Ahzab (perang Khandaq). Mereka juga yang telah mendesak suku Quraidhah (suku Yahudi di Madinah yang belum pernah melanggar perjanjiannya ter-hadap Nabi saw) untuk melanggar per-janjian dan ikut bergabung dalam pasukan Ahzab (sekutu) memerangi Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Bukti-bukti tersebut cukup kuat bagi Rasulullah saw untuk memberikan hu-kuman yang setimpal atas kejahatan-kejahatan mereka. Maka pada akhir bulan Muharram tahun ketujuh Hijriyah keluarlah Rasulullah saw bersama 1.400 sahabatnya menuju Khaibar. Pada saat itu Yahudi Khaibar memiliki kekuatan tentara tak kurang dari 10.000 prajurit serta memiliki persenjataan yang lengkap.
Peperangan yang cukup sengit terjadi di sekitar benteng Naa'im, satu dari delapan benteng mereka yang terkenal kokoh. Berkali-kali tentara kaum mus-limin mencoba untuk menjebol benteng tersebut tetapi selalu gagal. Pada suatu malam Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya:

"Sungguh aku akan menyerahkan panji perang ini besok kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberikan ke-menangan lewat kedua tangannya, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya." Para sahabat pun sibuk membicarakan ten-tang siapakah yang akan menerima panji tersebut. Pagi harinya para sahabat men-datangi Rasulullah saw, masing-masing dari mereka berharap bahwa dialah yang akan diserahi panji perang tersebut. Lalu beliau saw bersabda, "Di manakah 'Ali bin Abi Thalib?" Para sahabat menjawab, "Wahai Rasulullah, dia sedang sakit mata." Beliau bersabda, "Panggillah dia untuk datang kesini." Ia pun didatang-kan lalu Rasulullah saw  meludah pada kedua matanya dan mendo'akannya, se-ketika itu juga sembuhlah sakitnya bahkan seolah-olah tidak pernah sakit sebelumnya. Kemudian beliau menyerah-kan panji perang tersebut kepadanya. Lalu 'Ali bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku perangi mereka hingga men-jadi muslim seperti kami?" Beliau ber-sabda, "Berjalanlah dengan perlahan sampai engkau mendatangi halaman mereka, kemudian serulah mereka untuk masuk Islam dan beritahulah tentang hak-hak Allah yang wajib atas mereka. Demi Allah! Seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang saja dengan sebabmu maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta yang merah-merah." (HR. Bukhari)

Adapun pengaruh dari tiupan ludah Rasulullah saw kepada 'Ali tersebut dilukiskan sendiri oleh Ali sebagai ber-ikut, "Aku tidak pernah sakit mata dan tidak pernah pusing semenjak Rasulullah saw mengusap wajahku dan meludah pada kedua mataku pada waktu perang Khaibar yaitu saat beliau menyerahkan panji perang kepadaku." (HR. Ahmad dan Abu Ya'la, hadits shahih)

Kemudian kaum muslimin kembali menggempur benteng-benteng Yahudi dengan semangat yang baru. 'Ali bin Abi Thalib keluar memimpin kaum mus-limin menuju benteng tersebut. Sebelum melakukan penyerangan dia menyeru orang-orang Yahudi untuk masuk Islam, akan tetapi mereka menolak seruan tersebut dan mereka menantang kaum muslimin dengan dipimpin oleh Marhab, raja mereka. Marhab menantang perang tanding (duel) seraya berkata:
"Medan Khaibar telah tahu bahwa akulah Marhab!
Penyandang senjata pahlawan yang teruji!
Jika peperangan telah berkecamuk dan menyala!"

Amir bin Al Akwa' ra maju untuk menghadapinya, perang tanding berjalan seru, namun Amir terbunuh sebagai syahid. Melihat kenyataan ini Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya baginya dua pahala (seraya beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya) sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan mujahid yang sedikit sekali seorang Arab yang berjalan seperti dia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan sombongnya Marhab menan-tang sekali lagi perang tanding seraya melantunkan bait-bait syair di atas. Mendengar tantangan Marhab tersebut maka 'Ali bin Abi Thalib maju seraya berkata:
"Akulah yang diberi nama oleh ibuku dengan Haidaroh (singa)
Bagaikan singa hutan yang seram tampangnya.”
Sekejap saja beliau berhasil memukul kepala Marhab dan menewaskannya saat itu juga. Kemudian kemenangan kaum muslimin dapat diraih dengan kepemim-pinan 'Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Abu Rafiq ra bahwa ia berkata, "Ketika peperangan berkecamuk, 'Ali bin Abi Thalib sempat mengambil salah satu pintu benteng untuk dijadikan tameng (perisai)nya, pintu tersebut senantiasa dipegangnya sambil berperang menghadapi lawan sampai Allah memberikan kemenangan atas kami, setelah itu beliau lemparkan pintu tersebut. Sungguh aku menyaksi-kan bahwa delapan orang di antara kami berupaya keras untuk membalikkannya tetapi kami tak kuasa (karena beratnya)."

Demikianlah 'Ali bin Abi Thalib seorang pahlawan Islam yang pemberani lagi zuhud terhadap dunia. Dia pernah berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari mengikuti kebenaran, sedangkan panjang angan-angan akan membuat seorang hamba lupa terhadap akheratnya. Ingatlah! Sesungguhnya dunia berlalu ke belakang (meninggalkan kita) sementara akherat datang menjemput kita. Masing-masing dari keduanya memiliki putra, maka jadilah kalian putra-putra akherat dan janganlah menjadi putra-putra dunia. Sungguh hari ini adalah saat beramal dan tidak ada hisab, dan kelak yang ada hanyalah hisab dan tidak ada lagi kesempatan beramal."

Alangkah butuhnya Islam terhadap pemuda-pemuda seperti beliau yang tulus mencintai Allah dan Rasul-Nya, lemah lembut terhadap orang yang beriman, tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut cercaan orang-orang yang suka mencerca. Inilah sifat-sifat generasi yang diharapkan oleh Islam. Inilah kriteria generasi yang akan membawa perubahan (lihat Qs. Al Maidah[5]:54).  Imam Malik rahimahullah pernah berkata, "Tidak akan menjadi baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang generasi awal umat ini menjadi baik dengannya." Ya, benar! Generasi awal umat Islam tidak melejit menjadi jaya (mulia) kecuali dengan meluruskan aqidah dan tauhidnya, men-jadikan Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya lebih dicintai daripada dunia dan seisinya (lihat Qs. At Taubah[9] :24)


Sumber : 1. Ar Rahiiqul Makhtuum, Shafiyyur-
   rahman Al Mubarakfuri
2. Taariikhul Khulafaa', Al Hafidh
    Jalaaluddin As Suyuthi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar